Unik dengan bermarga
Merdeka.com - Sebagai kelompok masyarakat lama berdiam di kawasan pinggiran Jakarta, penduduk Kampung Sawah memiliki kedekatan dengan kebudayaan Betawi. Tetapi ada keunikan dalam sistem kemasyarakatan di Kampung Sawah dan tidak ditemukan dalam adat Betawi. Warga Kampung Sawah memakai marga.
"Marga muncul sebagai perekat kekeluargaan dibina sejak zaman Belanda sampai sekarang," kata Mohamad Ali, Sekretaris Kelurahan Jati Murni, kepada merdeka.com pekan lalu. Dia menyatakan sistem klan dikembangkan berdasarkan nilai-nilai keagamaan. Menurut dia, sistem ini digunakan agar hubungan antar masyarakat di Kampung Sawah tidak terputus.
Sayangnya, kata Pengurus Paguyuban Umat Beragama (PUB) Jacobus Napiun, tidak ada dokumentasi dapat menjadi rujukan terkait hal ini. Jacob akhirnya berusaha mengingat berapa banyak marga pernah dan masih ada. "Saya dulu pernah mencatat, seingat saya ada sekitar 52 marga. Seperti Noron, Napiun, Rikin, Pepe, Dani, Gilin, Djaim, Saiman, Sairin," ujarnya.
Sistem marga ini mirip suku Batak. Tetapi dia meyakini pola ini muncul di Kampung Sawah dengan sendirinya. Fungsinya untuk mengidentifikasi warga keturunan asli Kampung Sawah jika merantau ke luar daerah.
Selain itu, ada aturan pengikat sebagai konsekuensi berlakunya sistem marga ini, yaitu larangan menikah sesama marga. Ada karakteristik tertentu di masing-masing marga menjadi patokan untuk tidak menjalankan pernikahan. "Misalkan marga A karakteristiknya keras. Aduh, jangan sama marga itu deh. Jadi lebih pada karakteristik," tuturnya.
Menurut Jacob, jumlah marga di Kampung Sawah saat ini tidak mengalami peningkatan. Dia yakin angkanya justru berkurang. Penyebabnya antara lain tidak ada keturunan laki-laki di satu keluarga. Bagi masyarakat Kampung Sawah, hanya keturunan laki-laki saja bisa membawa marga.
"Seandainya keturunan Saiman punya anak empat perempuan semua, mereka akan ikut marga lain. Atau bisa juga kalau meninggal," katanya.
(mdk/fas)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Akses menuju kampung itu cukup sulit. Pengunjung harus berjalan kaki menyusuri jalan tanah yang terjal dan berbatu.
Baca SelengkapnyaMasyarakat desa ini punya tujuh pantangan dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat
Baca SelengkapnyaMereka ingin masyarakat di pedesaan juga peduli tentang lingkungan
Baca Selengkapnyavideo untuk kamu.
Kendati tak cukup luas, namun antusiasme warganya begitu luar biasa.
Baca SelengkapnyaAtikoh berasal dari keluarga yang tumbuh di lingkungan pesantren sederhana.
Baca SelengkapnyaKedua pelaku menyerahkan diri setelah dilakukan pendekatan dengan keluarga.
Baca SelengkapnyaTren ini berkaitan dengan perubahan gaya hidup masyarakat untuk berwisata.
Baca SelengkapnyaAda saja cerita tak terduga yang terjadi selama mudik ke kampung halaman.
Baca SelengkapnyaIni merupakan bentuk ikhtiar warga Sumedang setelah terjadi bencana gempa beberapa waktu lalu.
Baca Selengkapnya