4 Orang ini kritik vonis Serda Ucok dkk

Merdeka.com - Pengadilan Militer II-11 Yogyakarta memutus bersalah Serda Ucok dkk yang menjadi terdakwa dalam kasus penyerangan Lapas Cebongan Kelas IIB Sleman, Yogyakarta. Masing-masing terdakwa, Serda Ucok divonis 11 tahun penjara, Serda Sugeng 8 tahun penjara dan Koptu Kodik 6 tahun penjara.
Vonis tersebut menuai banyak kritikan dari berbagai pihak. Bahkan, ketika dalam proses persidangannya, kritikan sudah mulai bermunculan..
Isi kritikan lebih banyak ditujukan kepada Majelis Hakim Militer yang diketuai oleh Letkol CHK Joko Sasmito. Ada yang menyebut Hakim Letkol CHK Joko masih setengah-setengah dalam mengungkap fakta-fakta hukum yang terjadi dalam kasus ini.
Majelis Hakim juga dinilai tidak profesional seperti oditur yang tidak percaya diri saat pembuktian. Oditur tidak mampu mengungkap fakta-fakta secara detail dan mendalam tentang peristiwa yang terjadi.
Berikut empat orang mengkritik vonis dan persidangan Serda Ucok yang divonis 11 tahun:
KRPM sebut pengadilan Cebongan setengah hati

Koalisi Rakyat Pemantau Peradilan Militer (KRPM) menilai proses pengadilan militer terhadap para terdakwa kasus penyerangan lapas Cebongan, Sleman, Yogyakarta, masih setengah hati. Dalam persidangan 3 anggota Komando Pasukan Khusus (Kopassus) Kandangmenjangan Kartosuro itu, Hakim yang diketuai oleh Letkol CHK Joko Sasmito, masih setengah-setengah dalam mengungkap fakta-fakta hukum yang terjadi.
Seharusnya pengadilan bisa menghadirkan saksi-saksi yang relevan seperti Kapolda dan Pangdam, ujar anggota KRPM Eko Riyadi, Kamis (5/9).
Menurut Eko, pihaknya mencatat tiga hal kritis yang perlu diperhatikan untuk kelanjutan persidangan penyerangan Lapas Kelas II B Sleman. Pertama, KRPM masih menemukan anak-anak di bawah umur memasuki ruang sidang. Sedangkan dalam Tata Tertib Persidangan mengatakan dilarang membawa anak-anak di bawah umur 12 tahun, kecuali Majelis Hakim menghendaki anak tersebut menghadiri persidangan.
Kedua, KRPM juga melihat adanya seleksi pengunjung jelang sidang dibuka. Hal ini menunjukkan sikap diskriminasi. Ada beberapa beberapa orang secara mudah masuk ruang sidang, jelas Eko.
KontraS pertanyakan kontruksi hukum Hakim

Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) mempertanyakan kontruksi hukum yang dipakai Majelis Hakim Peradilan Militer dalam memutus bersalah para terdakwa kasus penyerangan Lapas Cebongan, Sleman, Yogyakarta. KontraS menilai hakim belum merujuk pada fakta yang sesungguhnya dimana ada pihak-pihak seharusnya turut bertanggung jawab atas insiden itu.
Sejauh mana vonis tersebut dibangun berdasarkan sebuah kontruksi hukum yang merujuk pada fakta yang sesungguhnya dimana fakta yang sesungguhnya kalau dalam catatan KontraS, peristiwa bisa dicegah karena ada pengetahuan yang cukup dari Polda Yogyakarta bahwa 4 orang ini akan dieksekusi, ujar Koordinator Badan Pekerja KontraS Haris Azhar, saat berbincang dengan merdeka.com, Kamis (5/9) malam.
Haris mengatakan kepolisian seharusnya bisa melindungi para tersangka dan mencegah insiden itu terjadi. Pasalnya, para tersangka itu merupakan tahanan titipan dan belum diproses di pengadilan.
Ada tanggung jawab yang melekat pada polisi untuk memastikan orang ini dilindungi untuk kepentingan membongkar kasus pembunuhan terhadap Heru Santoso di Hugos Cafe, ujar Haris.
Meski demikian, Haris tetap memberikan apresiasi kepada vonis Majelis Hakim yang menghukum para terdakwa di bawah tuntutan Jaksa. Selama tidak diputus bebas dan di bawah tuntutan Jaksa sesuai aturan Pasal 340 KUHP, gak masalah, pungkas Haris.
Pusham UII nilai banyak kejanggalan di sidangan Cebongan

Pusham Universitas Islam Indonesia UII menilai proses persidangan terhadap 12 anggota Grup II Kopassus Kandang Menjangan yang melakukan penembakan pada tahanan titipan di Lapas Cebongan tidak profesional. Sejumlah LSM yang bergerak di bidang hukum menemukan beberapa kejanggalan selama proses persidangan berlangsung seperti oditur yang tidak percaya diri saat pembuktian.
Oditur dalam membuktikan dakwaannya tampak tidak cukup percaya diri, selain itu pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Oditur juga tidak mampu mengungkap fakta-fakta secara detail dan mendalam tentang peristiwa yang terjadi, ujar Peneliti Pusham UII, Sumiardi di Jakarta, Selasa (3/9).
Sumiardi mengatakan, ketidakpercayaan diri Oditur disebabkan adanya faktor kepangkatan. Menurutnya, Oditur memiliki pangkat yang lebih rendah dibanding penasehat hukum.
Selain itu, Sumiardi mengatakan, terdapat banyak sekali tindakan yang bersifat intimidatif ditujukan kepada tim pemantau oleh pengunjung sidang yang notabene pendukung para terdakwa. Bahkan, menurut dia, para pengunjung juga banyak yang membawa senjata tajam di dalam ruang sidang. Terakhir, soal substansi perkara, proses pemeriksaan terlalu banyak mengacu pada eksepsi.
Hampir semua materi persidangan cenderung mengikuti isi eksepsi dari penasehat hukum, terang dia.
LPSK kritik saksi dihadirkan di Persidangan

Lembaga Perlindungan Korban dan Saksi (LPSK) menilai Majelis Hakim Persidangan Militer kasus penyerangan lapas Cebongan, Sleman, Yogyakarta seharusnya tidak menghadirkan para saksi langsung di persidangan. Apalagi saat itu kondisi para saksi masih dalam trauma berat.
LPSK mencontohkan pada saksi Kusnan dan Ambarita. Mereka mengatakan kedua saksi ini terlihat masih trauma saat memberikan keterangan di hadapan persidangan.
Para saksi seperti Kusnan dan Ambarita adalah orang-orang yang menurut Tim Psikolog LPSK masih trauma dan labil. Apalagi mereka harus berhadapan dan memberikan keterangan di forum yang terasa mencekam seperti persidangan itu, ujar anggota LPSK Teguh Soedarsono, Senin (15/7).
Selain itu, Teguh juga mengkritik bahasa pertanyaan Majelis Hakim kepada para saksi. Menurut Teguh, Hakim tak seharusnya mengajukan pertanyaan-pertanyaan menuding, seolah saksi sedang diintervensi. Teguh mengatakan pula persidangan sebaiknya dilakukan jarak jauh menggunakan fasilitas telekonferensi.
Atau setidaknya para saksi mengenakan sebo (penutup kepala), atau meminta para terdakwa keluar dari ruang sidang selama proses pemeriksaan para saksi, kata Teguh.
Jika hal-hal tersebut dilakukan, lanjut Teguh, derajat moralitas, wawasan, dan kemampuan majelis hakim dapat ditakar dan dipertaruhkan.
Baca juga:
5 Hal meringankan bikin Serda Ucok divonis 11 tahun
Serda Ucok: Saya akan tinggal di Yogya dan berantas preman
Cemarkan nama baik TNI, faktor memberatkan terdakwa Cebongan
Jika berkas vonis Cebongan dibaca semua, butuh 22 jam 45 menit
Ajukan banding, 3 anggota Kopassus dapat tepuk tangan
Baca Selanjutnya: KRPM sebut pengadilan Cebongan setengah...
(mdk/hhw)
Banyak orang hebat di sekitar kita. Kisah mereka layak dibagikan agar jadi inspirasi bagi semua. Yuk daftarkan mereka sebagai Sosok Merdeka!
Daftarkan
Ingatlah untuk menjaga komentar tetap hormat dan mengikuti pedoman komunitas kami