Pro Kontra Rekrutmen Komponen Cadangan, UU PSDN Digugat ke MK
Merdeka.com - Empat badan hukum dan tiga individu yang tergabung dalam Tim Advokasi Untuk Reformasi Sektor Keamanan mengajukan gugatan uji materiil Undang-Undang Pengelolaan Sumber Daya Nasional Untuk Pertahanan Negara (UU PSDN) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Hal ini buntut pro kontra rekrutmen Komponen Cadangan atau Komcad.
Pihak penggugat terdiri dari Imparsial, KontraS, Yayasan Kebajikan Publik Jakarta, PBHI, dan tiga individu yakni Ikhsan Yosarie, Gustika Fardani Jusuf, juga Leon Alvinda Putra.
Peneliti Imparsial Husein Ahmad menyampaikan, pembentukan Komponen Cadangan yang didasarkan pada UU PSDN itu bertentangan dengan nilai-nilai hak asasi manusia di dalam konstitusi. Kemudian pembahasan UU PSDN pun terbilang terburu-buru dan minim partisipasi publik.
"Kami menilai pembentukan Komponen Cadangan yang dilakukan di tengah kebutuhan penanganan serius dari negara dalam menghadapi situasi pandemi Covid-19, menunjukkan rendahnya kepedulian negara akan soal kemanusiaan dalam penanganan pandemi Covid ini. Untuk itu, pada hari ini kami telah mengajukan judicial review sejumlah pasal di dalam UU PSDN ke Mahkamah Konstitusi," tutur Husein saat konferensi pers virtual, Senin (31/5).
Menurut Husein, pihaknya menggugat sejumlah ketentuan dalam UU PSDN. Antara lain Pasal 4 ayat (2) dan (3), Pasal 17, Pasal 18, Pasal 20 ayat (1) huruf a, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 46, Pasal 66 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 75, Pasal 77, Pasal 78, Pasal 79, Pasal 81 dan Pasal 82 UU PSDN.
Pasal 4 UU PSDN misalnya, ruang lingkup ancaman yang dicantumkan meliputi ancaman militer, ancaman non militer, dan ancaman hibrida. Hal tersebut dinilai terlalu luas dan dapat menimbulkan terjadinya konflik antar-warga.
"Komponen Cadangan yang telah disiapkan dan dibentuk pemerintah dapat digunakan untuk menghadapi ancaman keamanan dalam negeri seperti dalih untuk menghadapi ancaman bahaya komunisme, terorisme, dan konflik dalam negeri yang berpotensi menimbulkan terjadinya konflik horizontal di masyarakat," jelas dia.
Kemudian, lanjut Husein, penetapan Komponen Cadangan berupa sumber daya alam dan sumber daya buatan, serta sarana dan prasarana nasional telah mengabaikan prinsip kesukarelaan. Untuk menjadi Komponen Cadangan, keseluruhannya hanya melewati verifikasi dan klasifikasi oleh Kementerian Pertahanan (Kemenhan), tanpa kesukarelaan dari pemilik.
"Dengan demikian, UU ini tidak memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap hak properti yang merupakan bagian dari hak asasi manusia. Hal ini akan membuka ruang potensi konflik sumber daya alam dan konflik pertanahan antara negara dan masyarakat," kata Husein.
Gugatan tersebut juga menyasar ke sanksi pidana yang diberlakukan bagi setiap orang yang menjadi Komponen Cadangan, namun menghindari panggilan mobilisasi dengan ancaman hukuman mencapai 4 tahun. Sementara jika seseorang membuat Komponen Cadangan tidak memenuhi panggilan mobilisasi, terancam hukuman penjara 2 tahun.
"Hal ini tentu menyalahi prinsip conscientious objection, hak untuk menolak atas dasar keyakinannya, yang merupakan prinsip utama dalam pelibatan warga sipil dalam pertahanan di berbagai negara yang sudah diakui dalam norma HAM internasional," ujarnya.
Selanjutnya, penggunaan sistem peradilan militer bagi Komponen Cadangan dinilai bertentangan dengan prinsip‐prinsip persamaan di muka hukum atau equality before the law. Sementara reformasi peradilan militer sendiri tersendat lantaran tidak tunduknya militer terhadap sistem peradilan umum, sebagaimana perintah Pasal 3 ayat (4) TAP MPR VII/2000 dan Pasal 65 ayat (2) UU No. 34 Tahun 2004.
"Terakhir terkait anggaran untuk Komponen Cadangan yang dapat diperoleh dari sumber selain APBN, yaitu APBD, serta sumber lain yang tidak mengikat. Menurut Pasal 25 UU Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara dan Pasal 66 UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, sumber anggaran pertahanan hanya melalui APBN. Oleh karena itu, UU PSDN bertentangan dengan Undang-Undang Pertahanan sendiri dan menyalahi prinsip sentralisme anggaran pertahanan," Husein menandaskan.
Reporter: Nanda Perdana PutraSumber: Liputan6.com
(mdk/eko)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Dalam UU yang berlaku saat ini, Pasal 15 UU Kementerian Negara mengatur tentang jumlah kementerian.
Baca SelengkapnyaMK bakal menggelar Rapat Permusyawakaratan Hakim untuk membahas posisi Arsul Sani.
Baca SelengkapnyaGayus mengamini, putusan PTUN tidak bersifat final dan mengikat seperti Mahkamah Konstitusi (MK).
Baca Selengkapnyavideo untuk kamu.
Sekjen PDIP: UU Kementerian untuk Tujuan Negara, Bukan Akomodasi Kekuatan Politik!
Baca SelengkapnyaAnak-anak muda harus komitmen mengedepankan persatuan dan menjaga konstitusi
Baca SelengkapnyaBW meminta hakim Konstitusi dapat memerintahkan untuk dilakukannya pemungutan suara ulang.
Baca SelengkapnyaMK bakal menggelar sidang perdana PHPU Pilpres dengan agenda sidang pleno pemeriksaan pendahuluan.
Baca SelengkapnyaMahkamah Konstitusi atau MK akan memproses Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU). Termasuk menyidangkan sengketa Pemilu 2024.
Baca SelengkapnyaPoin Revisi UU Kementerian Negara: Jumlah Kementerian Ditetapkan Sesuai Kebutuhan Presiden
Baca Selengkapnya