Dualisme Parpol: Antara Penguasa dan Pragmatisme Politik
Merdeka.com - Dalam lima tahun terakhir, setidaknya ada empat partai politik mengalami kisruh dualisme kepengurusan. Golkar, PPP, serta Berkarya karena perbedaan dukungan politik. Kemudian, Hanura yang terjadi gejolak karena masalah internal dengan ketua umum.
Menarik melihat tiga partai yang mengalami dualisme karena perbedaan dukungan. Golkar dan PPP terjadi karena satu kubu ingin mendukung pemerintahan Presiden Joko Widodo, sementara kubu lainnya mendukung oposisi yaitu Koalisi Merah Putih yang dipimpin Prabowo Subianto.
Kendati, akhirnya Golkar dan PPP bersatu kembali. Golkar terjadi islah dan menggelar Munaslub yang akhirnya menyatakan mendukung pemerintahan Jokowi-JK. PPP kubu Romahurmuziy yang mendukung Jokowi mendapatkan SK kepengurusan dari Kemenkum HAM.
Pola yang sama terjadi di Partai Berkarya. Tommy Soeharto dikudeta dari kursi ketua umum. Berkarya versi Munaslub disahkan Kemenkum HAM dengan pengesahan SK pengurus 2020-2025. Tommy dan Sekjen Priyo Budi Santoso terdepak. Digantikan Ketua Umum Muchdi PR dan Sekjen Badaruddin Andi Picunang. Dua nama ini terekam mendukung Jokowi-Ma'ruf.
Direktur Eksekutif Indonesia Political Review Ujang Komarudin menilai, erat hubungan kisruh dualisme partai dengan kelompok penguasa.
Pemerintah yang berkuasa pada prinsipnya tidak ingin ada kelompok oposisi. Sehingga, tidak aneh jika partai yang sebelumnya menentang pemerintah hingga menjadi melunak.
"Tak aneh dan tak heran, jika PPP, Golkar, dan Partai Berkarya dipecah hingga takluk, tentu ujungnya agar bisa merapat ke pemerintah," kata Ujang melalui pesan singkat, Kamis (6/8).
Ujang mengatakan, pola biasa dalam politik pihak berkuasa menaruh proxy di internal partai politik. Adalah mereka anggota partai yang loyal terhadap penguasa.
"Biasanya pemerintah tanam orang internal partai untuk melawan pengurus partai yang sah. Agar berkonflik, lalu pecah, dan akhirnya pemerintah yang ambil peran," kata Ujang.
Hal itu jelas tergambar dalam kisah dualisme Golkar, PPP dan Berkarya. Terlihat jelas polanya, kubu yang mendukung pemerintah mendapat legalitas.
"Campur tangan pemerintah sangat terlihat jelas, dalam kasus PPP, Golkar, dan terakhir saat ini Partai Berkarya," kata Ujang.
Cara itu diperlukan pemerintah untuk mengamankan posisinya. Partai yang berpotensi menjadi oposisi ditaklukan.
"Pemerintah butuh pengamanan. Agar aman, maka partai-partai yang berpotensi jadi oposisi harus ditaklukan," kata dia.
Namun pemerintah menegaskan, tak pernah mencampuri urusan internal partai politik. Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan, pemerintah netral dan ingin parpol menjaga stabilitas politik Tanah Air.
Fungsi Rekrutmen Parpol
Peneliti Politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Aisah Putri Budiarti menilai, kisah dualisme partai karena dukungan Pemilu merupakan kisah yang berulang di era reformasi.
Hal itu disebabkan karena fungsi rekrutmen partai tidak berjalan optimal dan demokratis.
"Dukung mendukung calon berbeda menuju pemilu oleh kader/pengurus partai itu seharusnya sudah selesai saat memasuki tahapan pemilu, apabila partai menjalankan konvensi atau seleksi calon pemilu secara demokratis," jelas Aisah melalui pesan singkat.
Partai seharusnya secara internal melakukan seleksi secara demokratis untuk memilih siapa yang dicalonkan dalam Pemilu. Agar proses perpecahan karena dukung mendukung ini tidak terjadi.
Pragmatisme Politik
Namun, proses konvensi itu tidak berjalan. Hanya segelintir elite politik menentukan arah partai.
"Karena konvensi belum berjalan, dan pemilihan masih berbasis kompromi politik ini maka soliditas partai berdasar kepentingan pencalonan pemilu rawan terjadi berulang," kata Aisah.
Karena pragmatisme politik partai, mereka cenderung memilih menjadi pendukung pemerintah yang memiliki sumber daya dan akses terhadap kekuasaan.
"Karena itu, tanpa secara langsung karena campur tangan pemerintah, pola partai terpecah dengan kemudian faksi pendukung calon presiden pemenang/pemerintah lah yang bertahan pada akhirnya terjadi," pungkasnya.
(mdk/rnd)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Airlangga menyampaikan saat ini mayoritas partai politik pendukung pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi masih berada di parlemen.
Baca SelengkapnyaKeanggotaan partai politik Jokowi dipertanyakan setelah menyebut presiden boleh kampanye dan berpihak pada pasangan calon tertentu di pemilu.
Baca Selengkapnya446.219 prajurit TNI secara serentak di seluruh Indonesia dikerahkan untuk mendukung kelancaran pesta demokrasi jelang hari pencoblosan 14 Februari.
Baca Selengkapnyavideo untuk kamu.
Pada Pemilu 2024 suara PPP hanya mencapai 3,87 persen atau kurang 0,13 persen dari batas ambang parlemen.
Baca SelengkapnyaMunir berharap agar masyarakat tetap damai dan rukun meskipun memiliki perbedaan pilihan politik.
Baca SelengkapnyaYaqut mengatakan, pemilu sebagai pesta demokrasi yang diselenggarakan lima tahun sekali sehingga dijalankan dengan penuh riang gembira.
Baca SelengkapnyaGanjar mengajak sejumlah parpol untuk memperkuat hak angket.
Baca SelengkapnyaAra memutuskan mundur dari PDIP. Ara tak menyebut partai tempatnya berlabuh tapi dia mengaku memilih mengikuti Jokowi.
Baca SelengkapnyaAHY menyerahkan kepada Prabowo apabila ada partai politik yang ingin bergabung ke Koalisi Indonesia Maju.
Baca Selengkapnya