Lindungi ABK WNI, Pemerintah Percepat Ratifikasi Konvensi ILO 188
Merdeka.com - Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi mengadakan Rapat Koordinasi Tindak Lanjut Persiapan Pengesahan Konvensi International Labour Organization No. 188 tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan (Work in Fishing) yang disahkan pada 14 Juni 2007.
Asisten Deputi Hukum dan Perjanjian Maritim, Nixson Silalahi menyampaikan bahwa Pemerintah berkomitmen untuk melindungi awak kapal perikanan dengan mempercepat ratifikasi konvensi ILO No. 188 tahun 2007 ini.
"Ini menjadi catatan buat kita bersama, memang kita belum meratifikasi, tapi kita punya hak untuk implementasi muatan konvensi tersebut, kalau ada perlakuan yang tidak manusiawi atau perlakuan buruk kepada ABK, negara punya hak untuk penegakan hukum. Konvensi ILO ini di samping mengatur tanggung jawab pemilik kapal penangkap ikan, nahkoda, dan awak kapal, terdapat hak negara anggota untuk perlindungan ABK Kapal perikanan dan penegakan hukum hukum atas pelanggaran hak-hak ABK, sehingga konvensi ini perlu segera diratifikasi," kata dia dalam siaran pers, Rabu (15/7).
Nixson mengatakan, tujuan dari konvensi ini adalah memastikan bahwa awak kapal mempunyai kondisi kerja yang layak di kapal penangkap ikan dalam hal persyaratan minimal untuk bekerja di kapal, persyaratan layanan, akomodasi dan makanan, perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja, perawatan kesehatan dan jaminan sosial.
Mengingat kondisi saat ini, permasalahan ketenagakerjaan di sektor perikanan, khususnya di Indonesia tidak lepas dari maraknya praktik kerja informal, seperti hubungan kerja antara pemilik dengan anak buah kapal (ABK) tidak didasarkan pada kontrak kerja yang jelas. Oleh karena itu, sektor ini tidak memiliki sistem informasi pasar kerja, pelatihan, penempatan, perlindungan, dan pengupahan yang memadai.
"Jadi, ini menjadi catatan penting bagi kita bahwa pentingnya konvensi ILO ini karena kalau kita meratifikasi ini, kita memiliki hak dan kewajiban di mana syarat-syarat itu merupakan peran negara. Memang kita belum ratifikasi tapi kita sekarang sedang mengarah ke sana, kita lihat kewajiban dan agregat yang kita peroleh, alangkah baiknya jika kita melakukan ratifikasi," jelasnya.
Dia menambahkan, bahwa Indonesia sendiri pada tanggal 7 Mei 2019, telah menyepakati bahwa untuk saat itu belum siap untuk melakukan ratifikasi terhadap Konvensi ILO No. 188. Namun, akan dilakukan persiapan ratifikasi dengan optimalisasi pelaksanaan peraturan-peraturan nasional yang mengadopsi ketentuan dalam konvensi tersebut.
Apalagi menurut catatan Kementerian Luar Negeri, selama tahun 2019 terdapat 1.096 kasus kekerasan dan perbudakan yang dialami ABK warga negara Indonesia (WNI).
Sementara itu, Asisten Deputi Keamanan dan Ketahanan Maritim Basiolio Araujo menyatakan harus ada bukti kepedulian negara terhadap para pekerja di sektor perikanan salah satunya melalui ratifikasi Konvensi ILO No. 188 ini. Indonesia perlu meratifikasi konvensi ini bukan karena mengikuti negara lain, namun sebagai kewajiban negara maritim untuk melindungi para ABK.
"Kenapa kita perlu ratifikasi? Itu merupakan tanda bahwa negara peduli dan ingin melindungi tenaga kerja kita. Kita ingin menjual produk perikanan kita tanpa ada isu buruh paksa dan perbudakan. Kita gunakan konvensi ini untuk menekan negara konsumen untuk tidak menerima produk ikan dari negara pencuri ikan," ujarnya.
Asdep Basilio mengungkapkan bila dilakukan ratifikasi, akan ada prinsip no more favourable treatments. Sehingga, Indonesia memiliki kontrol atas kapal-kapal yang merapat ke wilayah Indonesia.
Selain itu, Asdep Basilio menggarisbawahi bahwa saat ini Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan tidak mengenal pelaut atau pekerja di atas kapal dan jam kerjanya tidak berlaku untuk pekerjaan di atas kapal (Pasal 77 Ayat 3). Bahkan, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 Tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia salah menyebut nomenklatur Pelaut (Istilah Pelaut Awak Kapal/Pelaut Perikanan tidak dikenal dalam konvensi-konvensi internasional).
"Konvensi-Konvensi ILO tidak mengakui Pelaut sebagai Pekerja Migran. Saat ini prioritas Indonesia adalah memberantas praktek ilegal, unreported, unregulated fishing (IUUF) tapi tidak diiringi dengan pengesahan konvensi/perjanjian internasional dan istilah fishing vessel diterjemahkan sebagai kapal penangkap ikan yang seharusnya kapal perikanan di mana fishing sebagai industri, bukan sebagai penangkapan," tukasnya.
(mdk/azz)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Kantor Imigrasi Kelas I Khusus TPI Soekarno-Hatta, menyiagakan 603 personel.
Baca SelengkapnyaLobi-lobi diplomasi akhirnya menghasilkan kerja sama kelautan dan perikanan antara Indonesia dan Vietnam yang telah ditandatangani beberapa waktu lalu.
Baca SelengkapnyaKKP dengan Kementerian Pertanian dan Pembangunan Pedesaan Vietnam sebelumnya telah menandatangani kerja sama perikanan tahun lalu.
Baca Selengkapnyavideo untuk kamu.
Wilayah pesisir Kota Pariaman begitu kaya dengan sajian olahan kuliner berbagan dasar hasil laut.
Baca SelengkapnyaKetiganya meninggal pada 31 Maret 2024 lalu usai diterjang luapan sungai saat mencari ikan
Baca SelengkapnyaBentrokan antara anggota Brimob Polri dan prajurit TNI Angkatan Laut (AL) di Pelabuhan Sorong, Papua Barat, telah diredam.
Baca SelengkapnyaPresiden Jokowi mengeluarkan aturan yang membolehkan pengerukan pasir laut, salah satunya untuk tujuan ekspor pada Mei 2023.
Baca SelengkapnyaPangkalan TNI Angkatan Laut (Lanal) Palembang menggagalkan penyelundupan 99.648 ekor benih atau baby lobster senilai Rp15 miliar ke Singapura.
Baca Selengkapnya"KIA berbendera Malaysia tersebut diamankan di perairan Selat Malaka Kepulauan Riau," kata Brigjen Trunoyudo
Baca Selengkapnya