Merdeka.com - Bekerja sebagai awak kapal di luar negeri menjadi impian segelintir orang. Terutama bagi mereka yang bosan bekerja di kapal ikan tangkap perusahaan dalam negeri. Perusahaan kapal ikan tangkap asing menjanjikan gaji jutaan rupiah ketimbang bekerja sebagai awak kapal ikan tangkap dalam negeri.
"Bekerja di kapal asing itu mereka mendapatkan gaji yang lebih tinggi," kata Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW)-Indonesia, Moh Abdi Suhufan kepada merdeka.com, Jakarta, Jumat (8/5).
Perusahaan ikan tangkap luar negeri menjanjikan gaji dengan bayaran dalam mata uang dolar. Misalnya, perusahaan kapal asing asal Taiwan yang menggaji awak buah kapal sampai Rp4,5 juta per bulan. Begitu juga dengan China yang memiliki standar gaji bagi awak kapal sekitar Rp3 juta per bulan.
Kata Abdi, dua negara tersebut termasuk yang memiliki standar upah terendah. Awak kapal yang bekerja untuk perusahaan ikan tangkap di Jepang, Korea, Spanyol dan Selandia Baru memiliki standar yang lebih tinggi.
Selain standar gaji, mereka juga memiliki kontrak kerja sebagai kepastian lama kerja. Sebab di Indonesia belum ada regulasi yang mengatur standar upah bagi awak kapal perikanan.
"Di Indonesia belum ada regulasi untuk penggajian standar awak kapal perikanan," kata Abdi.
Pada industri perikanan tangkap dalam negeri, awak kapal digaji dengan sistem bagi hasil. Pendapatan mereka tidak menentu dan tergantung hasil jual ikan saat di darat. Termasuk juga dari jenis ikan yang ditangkap akan menghasilkan upah yang berbeda. Kata Andi, awak kapal yang bekerja di kapal penangkap cumi-cumi, ikan tuna, ikan cakalang akan berbeda secara pendapatan
"Mestinya (awak kapal dibayar) standar (gaji) UMR, cuma mayoritas mereka itu enggak digaji tapi pakai sistem bagi hasil," tutur Abdi.
Namun sistem bagi hasil tersebut juga dirasa kurang adil bagi awak kapal. Selain perjanjian kerja dibuat secara informal, awak kapal kerap mendapatkan bagi hasil paling kecil.
"Sistem bagi hasil itu juga tidak pernah dimuat dalam perjanjian kerja sama, jadi hanya pengaturan secara informal saja antara kapten kapal dengan awak perikanan," Abdi menjelaskan.
Lebih lanjut dia menjelaskan hasil jual ikan tangkapan dibagi 4 bagian yakni untuk pemilik kapal, nahkoda dan awak kapal. Sekitar 40 atau 60 persen pendapatan menjadi bagian pemilik kapal sebagai bagian dari ongkos logistik. Selanjutnya dibagi tiga dengan persentase yang beda antara pemilik kapal, nahkoda dan awak kapal.
Bagian dari awak kapal itu pun harus dibagi rata dengan jumlah awak kapal yang bekerja. "Dari sekian persen itu dibagi semua dengan jumlah awak kapal," kata dia.
Praktik ketidakadilan seperti inilah yang membuat para awak kapal dalam negeri bermimpi bekerja di kapal ikan perusahaan asing. Sebab dengan bekerja di perusahaan tersebut mereka memiliki kepastian upah yang diterima tiap bulan.
"Jadi memang ada praktik ketidakadilan di dalam negeri ini, karena pemilik kapal ini selalu mendapatkan bagian persentase yang lebih besar," kata Abdi mengakhiri.
Baca juga:
Keluarga 2 ABK Tunjuk Pengacara, Tuntut Hukum Kasus Pelarungan di Laut
Keluarga Kaget ABK Kapal China Dilarung bukan Dimakamkan Secara Islam
Polri dan Kemlu Kerjasama Usut Dugaan Pelanggaran HAM ABK Indonesia di Kapal China
DPR Minta Kemlu Desak Pemerintah China Tindak Pelaku Kasus Perbudakan ke ABK WNI
Polri Periksa ABK WNI Korban Perdagangan Orang di Kapal China Setibanya di Indonesia
14 ABK Korban Perbudakan Kapal Ikan China Dipulangkan ke Indonesia
Baca Selanjutnya: Sistem Bagi Hasil Tak Berkeadilan...
(mdk/idr)
Ingatlah untuk menjaga komentar tetap hormat dan mengikuti pedoman komunitas kami