Kisah Hidup Kyai Taftazani, Guru Ngaji Pangeran Diponegoro yang Jarang Diketahui
Merdeka.com - Pada masa kecilnya, pahlawan Perang Jawa, Pangeran Diponegoro, tinggal bersama nenek buyutnya, Ratu Ageng, di Tegalrejo, Yogyakarta. Waktu itu, dia dikenal dengan nama Raden Mas Mustahar.
Bersama perempuan yang juga permaisuri Sri Sultan Hamengkubuwono I itu, Pangeran Diponegoro diasuh di sebuah rumah yang juga berfungsi sebagai sanggar dan sekolah. Untuk mendidik Pangeran Diponegoro tentang nilai-nilai keislaman, Ratu Ageng mengundang para ulama datang ke sanggar itu.
Tak hanya itu, dia juga sesekali mendatangkan sosok ulama dari luar Jawa. Di antaranya adalah Kyai Taftazani.
Kyai Taftazani adalah seorang ulama asal Sumatra yang waktu itu mengajar di Pondok Pesantren Melangi. Oleh sang ulama itu, Pangeran Diponegoro diajarkan banyak ilmu-ilmu keislaman, terutama saat dia menjadi seorang santri di Kartasura. Berikut selengkapnya:
Keturunan Persia
©Warnawarniindonesia.org
Sebelum menjadi guru Pangeran Diponegoro, Kyai Taftazani adalah guru dari Ratu Ageng. Tempatnya mengajar berada di Desa Mlangi, Sleman. Tak hanya dikenal di wilayah Kraton Yogyakarta, Kyai Taftazani juga terkenal sampai ke wilayah Kartasura.
Setelah lama menetap di wilayah Yogyakarta, pada 1806, Kyai Taftazani angkat kaki dan pindah ke wilayah Kartasura karena ada perselisihan dengan salah seorang penghulu Kraton Yogyakarta. Di Kartasura, dia lebih dikenal dengan nama Bagus Taptajani.
Melansir dari Indonesia.go.id, Kyai Taftazani merupakan keturunan bangsa Persia. Hingga kini, keturunan Kyai Taftazani cukup dikenal. Salah satunya KH Hafidz Taftazani, pria yang saat ini menjabat sebagai Ketua Umum Masyarakat Pesantren.
Penerjemah Teks-Teks Islam Sulit
©Warnawarniindonesia.org
Melansir dari Warnawarniindonesia.org, sepak terjang Kyai Taftazani sebagai seorang ulama cukup diakui karena dia mampu menerjemahkan teks-teks Islam yang sulit. Beberapa di antara teks itu adalah Kitab Fikih Sirath Al Mustaqim karya Nuruddin Ar Raniri, yang ia terjemahkan ke dalam bahasa Jawa.
Di bawah asuhan Taftazani, Pangeran Diponegoro dididik menjadi seorang santri yang haus akan ilmu pengetahuan. Di sebuah asrama yang dikelola Taftazani inilah, Diponegoro banyak melumat kitab-kitab ajaran Islam.
Pada waktu itu, bacaan lain yang menjadi favorit Pangeran Diponegoro adalah kisah-kisah tentang kerajaan, ketatanegaraan, dan kitab tentang hukum Islam, termasuk kitab Taqrib, yang disebut-sebut memuat ajaran tentang Perang Sabil.
(mdk/shr)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Sang pendiri, Kiai Nur baru mendirikan surau saat puluhan santri datang untuk berguru padanya.
Baca SelengkapnyaBagi Hafidz, tidak terlalu sulit mengatur waktu antara rutinitasnya sebagai bupati maupun mengajar di pondok pesantren.
Baca SelengkapnyaSang pendiri pondok pesantren terkenal cerdas sejak kecil
Baca Selengkapnyavideo untuk kamu.
Sosok tersebut mencium tangan sang jenderal hingga menuai atensi banyak orang.
Baca SelengkapnyaSebanyak 40 orang kader ulama utusan dari berbagai pesantren ikut pelatihan
Baca SelengkapnyaSetelah menyelesaikan hafalan Alquran, para santri akan mengabdikan dirinya kepada masyarakat. Mereka akan menjadi guru ngaji di berbagai Rumah Tahfidz.
Baca SelengkapnyaMakam para ulama ini terletak di pemakaman umum desa.
Baca SelengkapnyaTempat sejumlah tokoh besar Indonesia menimba ilmu agama dan pengetahuan umum.
Baca SelengkapnyaBerikan pantun lucu ini untuk menghibur mereka sang pahlawan tanpa tanda jasa yang tak kenal lelah meski jarang diapresiasi.
Baca Selengkapnya