Sejarah Pabrik Cerutu Taru Martani di Jogja, Sudah Berusia Lebih dari 100 Tahun
Pada masa jayanya, jumlah karyawan di perusahaan ini mencapai 2.000 orang
yogyakartaSejarah Pabrik Cerutu Taru Martani di Jogja, Sudah Berusia Lebih dari 100 Tahun
Pada masa jayanya, jumlah karyawan di perusahaan ini mencapai 2.000 orang
Di pusat kota Yogyakarta, terdapat sebuah pabrik cerutu yang sudah berusia lebih dari 100 tahun. Namanya Taru Martani. Pabrik itu sudah berdiri sejak tahun 1918.
Pada awalnya pabrik itu berlokasi di daerah Bulu, pinggir Jalan Magelang, Yogyakarta. Pada tahun 1921, lokasinya dipindah ke Baciro, di jalan Argolubang, No. 2A Yogyakarta. Pada tahun yang sama dibuat sebuah perseroan terbatas bernama N.V Negresco.
Saat pendudukan Jepang, pabrik cerutu itu diambil alih Pemerintah Jepang dan nama pabriknya diubah menjadi “Jawa Tobacco Kojo”. Saat itu produksi cerutu meningkat. Bahkan Jepang mendatangkan langsung mesin-mesin rokok putih dari B.A.T Cirebon.
- Menguak Sejarah Stasiun Mertoyudan Magelang, Dulunya Stasiun yang Ramai Namun Kini Terbengkalai
- Fakta Menarik Cakung, Wilayah Bersejarah di Jakarta Timur yang Kini Jadi Kawasan Industri
- Ternyata Segini Gaji Putri Tanjung Kerja di Perusahaan Ayahnya, Kiky Saputri Sampai Kasihan Lebih Besar Bayarannya
- Manajamen Sepatu Bata Akhirnya Buka Suara soal Penutupan Pabrik di Purwakarta, Begini Keterangannya
- Baleg DPR Usul DKJ jadi Ibu Kota Legislasi, Kemendagri: Jangan Biarkan Kami Saja yang di IKN
- Tingkah Lucu Pemudik Pakai Helm Saat Masuk Kereta hingga Ditegur Dirut KAI, Alasannya Tak Terduga
Saat pemerintah Jepang jatuh pada tahun 1945, Jawa Tobbaco Kojo diambil alih oleh Pemerintah RI. Sri Sultan HB IX mengganti nama perusahaan menjadi “Taru Martani” yang berarti “Daun yang Menghidupi”.
Produksinya meliputi Cerutu bermerek “Daulat” dan rokok bermerek “Abadi”. Jumlah karyawannya saat itu mencapai 2.000 orang.
Pada tahun 1949, perusahaan itu diambil alih lagi oleh N.V Negresco. Perusahaan ini mengalami kemunduran karena N.V Negresco belum bisa aktif memproduksi cerutu hingga tahun 1951.
Pada tahun 1952, Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta bersama Bank Industri Negara Jakarta mengambil inisiatif untuk menghidupkan kembali perusahaan tersebut dengan menghidupkan Taru Martani.
Saat itu, direktur utamanya adalah Profesor Mr. Kertanegara yang dibantu oleh tenaga ahli dari Belanda. Pada awalnya mereka memproduksi cerutu merek seri Senator, Mundi Victor, Elcomercia, dan Cigarillos.
Pada tahun 1957, mereka mulai memproduksi rokok kretek bermerek Roro Mendut dan Roro Jonggrang serta tembakau shag lokal.
Sehubung dengan aksi Irian Barat pada tahun 1960, perusahaan ini dinasionalisasi dan dimasukkan ke dalam Departemen Perindustrian Rakyat (PNPR).
Untuk melebarkan sayap perusahaan, pada tahun 1972 pemerintah DIY bekerja sama dengan perusahaan Belanda, Douwe Egberts Taba Ksimaatchappij BV di Utrech, agar dapat mengekspor cerutu ke Belanda.
Mereka membentuk perusahaan patungan “PT Taru Martani Baru” yang produksinya meliputi cerutu bermerek seri Senator, Mundi Victor, Adipati, Ramayana, dan Pather.
Dengan lahirnya perusahaan patungan, harapannya PT Taru Martani dapat berkembang pesat. Namun kenyataannya tidak sesuai dengan apa yang diharapkan perusahaan.
Selama 14 tahun, perusahaan belum mendapat laba dan justru harus merugi. Melihat kondisi itu, pada tahun 1986 PT Taru Martani Baru kembali menjadi perusahaan daerah.
Dikutip dari cigarindonesia.id, pemerintah daerah kemudian mencarikan pinjaman uang ke beberapa bank untuk menbantu perusahaan tersebut. Akhirnya diperoleh pinjaman sebesar Rp700 juta dari Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo).
Setelah mendapat suntikan dana, PT Taru Martani mengalami kemajuan. Pada tahun 1989 mereka mulai dapat mengekspor produknya ke luar negeri seperti Belanda, Belgia, Jerman, dan Amerika Serikat.
Saat ini produk dari Taru Martani telah merambah ke pasar Prancis, Republik Ceko, Taiwan, Australia, serta kawasan ASEAN.