Tersisa 8 Orang dan Hampir Punah, Ini Jejak Suku Darat di Pulau Rempang
Penghuni asli Pulau Rempang yang hidup di hutan belantara kini sudah berada diambang kepunahan.
Penghuni asli Pulau Rempang yang hidup di hutan belantara kini sudah berada diambang kepunahan.
Pulau Rempang yang terletak di Provinsi Riau merupakan pulau terbesar kedua setelah Batam yang dikelilingi gugusan pulau-pulau kecil yang berederet antara Semenanjung Selat Malaka dan Singapura.
Memiliki luas lebih kurang 16.583 hektare, Pulau Rempang sempat menjadi perbincangan dan tuai pro kontra terkait adanya isu proyek pembangunan yang mengakibatkan penduduk asli tersingkir begitu saja.
Pulau Rempang dihuni oleh dua kelompok penduduk Melayu yang siklus hidupnya berpindah-pindah yaitu Suku Laut atau Orang Laut yang kebanyakan tinggal di pesisir dan Suku Darat yang hidupnya bergantung dari hasil hutan.
Orang Darat yang mendiami Pulau Rempang puluhan tahun kini kondisinya berada di ambang kepunahan. Mereka hidup dengan begitu sederhana dan sudah tak lagi menjalankan kebiasaan aslinya yaitu hidup berpindah-pindah karena populasi hutan sudah semakin berkurang.
Salah satu penduduk tertua yang tinggal di Kampung Ulu Sadap bernama Lamat, mengaku saat ini Orang Darat hanya tersisa 8 orang saja, mulai dari mertuanya, Yang Adek (sepupu), Opo (adik), Tongku, Baru (anak Yang Adek), Umiaty dan Juli (keponakan Lamat), serta Lamat sendiri.
Di Hulu Sungai Sadap yang menghubungkan dengan Laut Cate, Blongkeng di Pulau Rempang ini menjadi tempat tinggal tetap orang-orang Suku Darat.
Mengutip dari kanal liputan6.com, Lamat kini hidup sebagai pemanen kelapa muda dan membersihkan kebun perusahaan yang ada di sekitar kampungnya.
"Memanen kelapa diupah 1 butir Rp1.000, untuk membersihkan kebun per pohon kelapa Rp.2000," ucap Lamat.
Ketika orang tua Lamat masih hidup, Orang Darat kebanyakan memilih untuk tidak tinggal menetap alias Nomaden. Ia pun sempat diajak oleh kedua orang tuanya berburu dan mencari hasil hutan.
"Nanti yang di luar kampung Sadap akan berbuat rumah di sini, kami berkumpul di sini" lanjutnya.
Di samping dirinya bekerja untuk menghasilkan pundi-pundi rupiah, Lamat juga mencari Kepiting dan ikan-ikanan di Hulu Sungai. Akan tetapi, kebiasaannya itu harus pupus karena perahu miliknya rusak dan tidak ada biaya untuk memperbaikinya.
Lamat kini hidup di sebuah bangunan yang berasal dari bantuan Pemerintah yang kondisinya sudah mulai lapuk karena termakan usia. Bahkan, Lamat hidup hanya dengan menggunakan lampu semprong sebagai penerangan ketika malam hari tiba.
Sebelumnya Orang Darat biasa menggunakan bahasa mereka sendiri untuk berkomunikasi. Namun, seiring banyaknya orang-orang dari luar pulau yang datang menemuinya, mereka kini sudah bisa menggunakan Bahasa Indonesia sedikit demi sedikit.
Rata-rata saat ini Orang Darat sudah tidak lagi menetap di Pulau Rempang. Mereka banyak yang menikah dengan orang Suku Jawa, Sunda, Melayu Pesisir, dan juga Tionghoa.
Mereka terdampar di pulau yang sangat terpencil di Samudra Pasifik.
Baca SelengkapnyaBanyak warga pulau ini merantau ke kota-kota besar demi mendapatkan penghidupan lebih layak.
Baca SelengkapnyaPara pelaku kesal dengan tingkah laku Dimas di dalam sel.
Baca SelengkapnyaSalah satu suku tua di Indonesia ini hidup sangat dekat dengan alam dan sangat menghormati laut. Mayoritas dari mereka bekerja sebagai seorang nelayan.
Baca SelengkapnyaSelain ditetapkan sebagai tersangka, ketiganya juga telah dilakukan penahanan.
Baca SelengkapnyaSalah satu masyarakat asli Sumatra Timur yang kesehariannya hidup di perairan ini berperan dalam melestarikan kehidupan bahari.
Baca SelengkapnyaOrang-orang pertama yang berjasa mengubah hutan jadi permukiman penduduk merupakan para pendakwah Islam
Baca SelengkapnyaKejadian itu bertepatan dengan hujan disertai angin kencang yang melanda Blitar.
Baca SelengkapnyaPria ini sudah 20 tahun merantau dan belum pernah pulang.
Baca Selengkapnya