Toko Tanpa Pegawai di China Tutup Massal, Ada Apa?
Merdeka.com - Amazon membuka toko tanpa pegawai di Seattle, Amerika Serikat (AS) pada 2016 lalu. Langsung saja tren yang sama menjamur di China dan menarik investasi miliaran yuan.
Sayangnya, toko tersebut tidak laku dan tutup massal. Pada akhir 2017, ada 200 toko tanpa pegawai yang dibuka di China, namun pada awal 2018 kebangkrutan mulai melanda, demikian laporan Nikkei Asian Review.
Tren ini berangkat dari mengambil keuntungan pada penggunaan sistem pembayaran via smartphone. Hal itu dipandang bisa mengurangi kebutuhan pegawai.
Itjuzi.com menyebut tren toko tanpa pegawai berhasil menarik investasi hingga 4,3 miliar yuan atau setara Rp8,8 triliun. Kini, berbagai perusahaan pun batal melakukan ekspansi.
Pada Juli 2018, JD.com, yang merupakan perusahaan e-commerce terbesar kedua di China, sempat berencana membuka hingga 5.000 toko tanpa pegawai di berbagai bangunan kantor dan kota besar. Enam bulan kemudian, rencana batal.
JD.com juga menghentikan bisnis smart shelf-nya. Bisnis itu serupa dengan toko tanpa pegawai, tapi dengan ukuran lebih kecil dan berada di kios-kios stasiun kereta.
Faktor yang membuat toko tanpa pegawai tidak laku adalah karena tidak punya pegawai. Lantaran, produk convenience store (toko kelontong) yang laku di kota besar seperti Beijing bukanlah snack, melainkan makanan segar, mudah dimasak, atau pencuci mulut.
Agar bisnis toko kelontong bisa bertahan di kota besar China, mereka butuh sekiranya 5.000 yuan (Rp10,3 juta) hingga 6.000 yuan (Rp12,3 juta) per hari. Dan kebanyakan pemasukan itu berasal dari produk segar.
Lalu bagaimana solusinya?
Pada industri convenience store di China, hasil gross margin untuk penjualan produk tersebut adalah 40 persen sampai 50 persen. Untuk produk snack hanya sekitar 25 persen.
Sedangkan, jika toko tanpa pegawai itu hanya mengandalkan menjual snack dan minuman, maka hal itu cepat membuat konsumen bosan.
Pelaku industri lain menyadari kehadiran pegawai toko ternyata memang masih dibutuhkan. Perusahaan seperti Alibaba pun mencoba memadukan antara teknologi online dan layanan offline.
Alibaba meluncurkan rantai supermarket bernama Freshippo (atau Hema Xiansheng) yang menjual bahan-bahan segara. Toko itu memakai kemampuan pembayaran via smartphone dan teknologi lainnya.
Akan tetapi, Alibaba juga menyediakan staf di toko. Para staf itu yang tetap membantu pembeli meski mereka membayar via smartphone.
Reporter: Tommy Kurnia
Sumber: Liputan6.com
(mdk/idr)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Mang Ade menjadi salah satu pedagang kuliner yang menawarkan kemudahan pembayaran lewat QRIS.
Baca SelengkapnyaTilang elektronik merupakan terobosan Polri untuk menertibkan pelanggar lalu lintas
Baca SelengkapnyaModus terduga pelaku dalam menjalankan aksinya yakni pinjaman online.
Baca Selengkapnyavideo untuk kamu.
Transaksi secara non tunai hanya dengan scan barcode QRIS pun merupakan kondisi yang lumrah.
Baca SelengkapnyaPenutupan dilakukan karena di tahun ini tidak ada lagi orderan atau pemesanan yang masuk dari vendornya.
Baca SelengkapnyaPerlu ada teknologi khusus yang menggantikan transaksi tap kartu.
Baca SelengkapnyaCashless mall pertama di Indonesia ini ada di Surabaya, bukan Jakarta.
Baca SelengkapnyaHidup di awal karier tak selalu mudah untuk dijalani.
Baca SelengkapnyaPembayaran menggunakan QRIS lebih aman dan langsung masuk ke rekening. Pedagang dan pembeli jadi lebih praktis dan efektif saat belanja.
Baca Selengkapnya