Dulu Ladang Luas Pemandangannya Indah, Begini Kisah Kampung Bersejarah Hadiah Raja di Tengah Kota Surabaya
Kampung ini memiliki nuansa bersejarah yang kental.
Kampung ini memiliki nuansa bersejarah yang kental.
Sekilas Kota Surabaya adalah kota metropolitan yang dipenuhi bangunan-bangunan megah dan menjulang tinggi. Namun, saat ditelusuri lebih jauh, kota ini memiliki sisi-sisi unik yang berbeda dari citra kota metropolitan. Salah satunya keberadaan sebuah kampung yang dulunya merupakan warisan raja Majapahit.
Keberadaan kampung Tegalsari di Kota Surabaya berkaitan erat dengan perjuangan seorang panglima perang Majapahit yang bernama Kudo Kardono. Ia adalah panglima perang Majapahit pada masa pemerintahan Raja Jayanegara atau Kalagemet.
Kudo Kardono berhasil mengalahkan pemberontakan Ra Kuti. Berkat keberhasilannya menaklukkan musuh, raja Majapahit memberikan hadiah kepadanya berupa tanah perdikan (bebas pajak) di kawasan Tegal Bobot Sari. Sekarang daerah ini dikenal dengan nama Tegalsari.
Mengutip Instagram @lovesuroboyo, mengacu pada peta Kota Surabaya tahun 1825, daerah Tegalsari dulunya merupakan ladang luas dengan pemandangan yang indah.
Pemberian nama kampung ini merujuk pada situasi pada zaman dahulu. Adapun menurut KBBI, kata "Tegal" berarti tanah luas untuk tanaman atau ladang, sementara kata "Sari" berarti sesuatu yang indah.
Mengutip situs resmi Pemkot Surabaya, Eyang Kudo mempunyai nama asli Yudo Kardono. Kata "Yudo" berarti peperangan, sedangkan "Kudo" merujuk pada kuda sembrani putih yang sering ia tunggangi.
Sebagai sesepuh kampung Tegalsari, jenazah Eyang Kudo Kardono dimakamkan di sini. Saat ini, area pemakaman Eyang Kudo Kardono telah ditetapkan sebagai cagar budaya oleh Pemkot Surabaya. Pesarean Eyang Kudo Kardono ditempatkan pada satu rumah tertentu. Selain makam sepupu Patih Gajah Mada, rumah ini juga berisi benda-benda peninggalan zaman Majapahit (Trowulan) seperti tombak, keris, hingga arca. Guna menghormati jasa Eyang Kudo Kardono, ia disemayamkan di satu lokasi bersama istri dan ketiga anaknya. Selain itu, di kompleks pemakaman ini juga terdapat dua makam yang merupakan pengikut setianya. Ada juga makam ayah Eyang Kudo Kardono yakni Eyang Wahju.
Peran besar kampung Tegalsari berlanjut pada masa kolonialisme. Meletusnya Perang Dunia II turut mempengaruhi Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda di Kota Surabaya. Pada tahun 1930-an, Hindia Belanda membangun bunker di Section 2 Politie Bureau, letaknya tak jauh dari Polsek Tegalsari sekarang.
Arsitektur khas Belanda berbentuk segi delapan dan bungker mirip lorong menuju ruang bawah tanah itu terletak di tepi jalan.
Hindia Belanda sengaja membangun bunker terpisah dari Section 2 Politie Bureau, tujuannya untuk mengelabuhi musuh. Saat musuh melakukan serangan dari udara, mereka akan mengira tidak ada lawannya yang selamat. Padahal pihak Kolonial Belanda bersembunyi di dalam bunker bawah tanah.
Mengutip allison.id, orang yang hendak masuk ke dalam bunker harus menunduk. Pasalnya pintu berukuran pendek. Begitu masuk pintu, akan ada tiga sampai empat anak tangga turun. Suasana di dalam bunker gelap, pengap, dan terkesan mencekam.
Konon Desa Kedung Glatik sudah berdiri sejak abad ke-15
Baca SelengkapnyaMasyarakat desa ini punya tujuh pantangan dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat
Baca SelengkapnyaDulunya Kuningan merupakan wilayah permukiman dan kerajaan.
Baca SelengkapnyaSurabaya pernah jadi daerah paling kuat di Jawa bagian timur
Baca SelengkapnyaIa merupakan tokoh penting dalam sejarah Kota Surabaya.
Baca SelengkapnyaJalan setapak, bangunan sekolah sampai lapangan bola kini berubah menjadi lautan.
Baca SelengkapnyaMbah Kalap pernah identik dengan Sungai Jagir di Surabaya. Ia penyelam handal untuk menyelamatkan banyak nyawa di tahun 1970-1980 silam
Baca SelengkapnyaSelain dari pariwisata, perekonomian warga Desa Sembungan ditopang oleh hasil pertanian sayur mayur.
Baca SelengkapnyaDatang dari Lamongan ke Surabaya untuk menjual satu tikar, nyatanya dagangannya tak kunjung laku.
Baca Selengkapnya