Perangi Radikalisme dan Terorisme dengan Moderasi Beragama
Upaya membumikan toleransi pada keberagaman, kelompok radikal kerap melakukan framing terhadap moderasi beragama.
Upaya membumikan toleransi pada keberagaman, kelompok radikal kerap melakukan framing terhadap moderasi beragama.
Radikalisme dan terorisme bentuk kejahatan sangat kompleks. Moderasi beragama menjadi rumusan mampu membendung hingga menghilangkan efek negatif pendangkalan dalil agama oleh kelompok radikal.
Pengurus Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia - Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LAKPESDAM PBNU), M. Najih Arromadloni menjelaskan bahwa pengertian moderasi beragama itu tidak menciptakan agama baru, tetapi mengembalikan agama pada karakter aslinya yang sudah moderat.
"Agama itu pada dasarnya moderat, pemeluknya yang membawa untuk tindakan ekstrem. Menjadi penting bagi kita untuk mengarusutamakan moderasi beragama ketika bermunculan penyakit ekstremisme," terang Gus Najih, Kamis (22/12).
Ia mengatakah bahwa masyarakat tentu masih ingat bahwa Indonesia sempat mengalami turbulensi politik yang cukup keras karena permainan kelompok radikal yang menggoyang stabilitas nasional.
Beberapa kali perhelatan pemilihan umum, baik di tingkat daerah maupun nasional, diwarnai kerasnya politik identitas.
"Kita bisa lihat bagaimana organisasi seperti Nahdlatul Ulama yang giat menuntut pemerintah untuk membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI)," imbuh Gus Najih.
Mencuatnya berbagai aktivitas jaringan teror seperti Negara Islam Indonesia (NII), lanjut Gus Najih, juga sempat menyita perhatian publik. Pada perkembangannya, NII pun dimasukkan dalam Daftar Terduga Teroris dan Organisasi Teroris (DTTOT).
Kesadaran dan kewaspadaan yang terbangun dan ikut berkontribusi pada penetapan keputusan hukum ini tentu tidak lepas dari peran serta kaum moderat yang aktif di masyarakat.
Mulai dari para kiai dan santri, serta aktivis moderasi beragama dengan segala upaya akhirnya bisa menjangkau masyarakat lebih luas.
Lebih lanjut, Gus Najih mengungkapkan bahwa perlu diwaspadai saat perhelatan politik, kelompok radikal intoleran memanfaatkan situasi.
Tidak hanya Indonesia, aksi teror seperti ini juga mengakibatkan destabilisasi di banyak negara. Jaringan teror memiliki kesamaan pola dalam melakukan aksinya, salah satunya dengan menjadikan pemilihan umum sebagai pintu masuk propaganda radikal.
"Begitu juga di Jepang, mantan Perdana Menteri Shinzo Abe, waktu dia sedang jadi juru kampanye dan menyampaikan pidatonya, lalu dia ditembak oleh radikalis yang bergerak secara lone wolf," ungkap Gus Najih.
Menurutnya, aksi teror yang dilakukan kelompok radikal biasanya berbarengan dengan framing negatif terhadap suatu hal. Seperti di tengah upaya membumikan toleransi pada keberagaman, kelompok radikal melakukan framing terhadap moderasi beragama.
"Mereka melakukan pembusukan terhadap istilah moderasi beragama, dianggapnya sebagai pelemahan terhadap agama dan mereka sangat menolaknya," tandasnya.
Jangan sampai dimanfaatkan untuk menyebarkan narasi intoleransi, bahkan mengarah pada aksi radikal terorisme.
Baca SelengkapnyaMasyarakat jangan mudah terpapar informasi hoaks dan ujaran kebencian yang dapat memicu konflik.
Baca SelengkapnyaNarasi-narasi provokatif dapat memicu perpecahan harus dihindari terlebih di tahun politik.
Baca SelengkapnyaMenurutnya, ketupat pernah digunakan oleh Sunan Kalijaga dalam penyebaran agama Islam di Pulau Jawa.
Baca SelengkapnyaDengan perilaku toleransi tinggi, Indonesia diyakini kebal dengan serangan paham radikal terorisme ingin pecah belah NKRI.
Baca SelengkapnyaPenting menjaga keberlangsungan lingkungan masyarakat yang damai dan toleran.
Baca SelengkapnyaBerdemokrasi sehat berarti mengerti jika Pemilu sarana untuk bersatu bukan bermusuhan.
Baca SelengkapnyaSifat tenggang rasa adalah modal sosial yang telah diwariskan sejak nenek moyang bangsa.
Baca SelengkapnyaAksi terorisme memberi dampak buruk, maka setiap 21 Agustus ditetapkan Hari Peringatan dan Penghargaan Korban Terorisme
Baca Selengkapnya