Tingginya Kasus Pelecehan, DPR Harus Lanjutkan Pembahasan RUU PKS
Merdeka.com - Institute of Criminal Justice Reform (ICJR) mendesak kepada DPR dan Pemerintah untuk agar Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) tetap ada di daftar Prolegnas Prioritas 2020 dan tetap dilakukan pembahasan sampai selesai menjadi undang-undang.
Peneliti ICJR, Genoveva Alicia menilai kebutuhan yang mendesak bagi korban kekerasan seksual seharusnya menjadi dorongan untuk DPR dan Pemerintah hadir memberikan kepastian perlindungan. Maka alasan sulitnya pembahasan RUU PKS tidak bisa menjadi alasan pembahasan aturan ini.
"DPR dan Pemerintah perlu kembali mengetahui RUU PKS dihadirkan dengan semangat perlindungan terhadap korban kekerasan seksual, yang masih sulit memperoleh perlindungan dalam aspek penanganan kasus, layanan bantuan langsung korban, hingga aspek pemulihan komprehensif," kata Genoveva pada keterangannya, Rabu (1/7).
Dia pun mengingatkan kasus Baiq Nuril Maknun, yang menjadi korban kekerasan seksual atasannya yang seharusnya diberikan perlindungan untuk dapat melaporkan kasusnya. Justru dijadikan korban dengan bayang-bayang kriminalisasi.
"Korban-korban selain Baiq Nuril jelas akan takut untuk berjuang memperoleh keadilan jika masih dibayangi ketakutan kriminalisasi termasuk stigma aparat penegak hukum yang justru menyalahkan korban. Pembahasan RUU PSK secara komprehensif sangat diperlukan," tuturnya.
Alasan Dibutuhkannya RUU PKS
Lebih jauh, Genoveva menyebutkan setidaknya ada tiga dasar yang menjadi kebutuhan RUU PKS ini harus segera dibahasa. Pertama, minimnya akses pendampingan bagi korban kekerasan seksual.
"Berdasarkan data BPS pada tahun 2018 tercatat jumlah kasus perkosaan adalah 1.288 sedangkan pencabulan tercatat 3.970, paling tidak terdapat 5247 kasus kekerasan seksual pada 2018, sedangkan pada tahun 2017 berjumlah 5.513 kasus," terang dia.
"Laporan Tahunan LPSK 2019, korban kekerasan seksual yang terlindungi hanya 507 orang. Kemudian, Catatan Tahunan (Catahu) Komisi Nasional Perempuan 2020, sepanjang 2019 setidaknya dari 3.062 kasus kekerasan seksual yang terjadi di ranah publik dan komunitas, 58% diantaranya adalah merupakan kasus kekerasan seksual," tambahnya.
Kedua, Genoveva menilai apa yang dilakukan pemerintah lewat Peraturan Presiden No 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan yang mengecualikan pelayanan kesehatan untuk korban kekerasan seksual malah membuat masalah baru.
"Berdasarkan Perpres tersebut, luka akibat kekerasan tidak dikategorikan sebagai penyakit. Sehingga sejak pemberlakuan Perpres tersebut, biaya visum et repertum dan pengobatan yang dijalani perempuan dan anak korban kekerasan tidak ditanggung negara," ungkapnya.
"Akibatnya, kebijakan pembiayaan visum yang ditanggung negara tergantung pada kebijakan masing-masing daerah. seperti di DKI Jakarta yang menggratiskan biaya visum bagi korban kekerasan perempuan dan anak. Lalu, di beberapa daerah, seringkali dialokasikan pada Kepolisian yang sering dikeluhkan karena ketiadaan anggaran di Kepolisian. Terjadi pula dalam beberapa kasus unit Perlindungan Perempuan dan Anak harus ‘patungan’ untuk membiayai visum," bebernya.
Ketiga, belum adanya mekanisme komprehensif terkait perlindungan dan pemulihan korban kekerasan seksual. Membuat masalah permasalahan hak korban kekerasan seksual tidak terkoordinasi dan tidak komprehensif.
"Seperti, perumusan hak-hak korban hanya diatur dengan UU tertentu seperti UU TPPO, UU PKdRt, UU Perlindungan Anak dan UU Perlindungan Saksi dan Korban hanya spesifik untuk korban dalam tindak pidana yang dimaksud dalam UU tersebut, tidak ada ketentuan dasar yang khusus menjamin bahwa pemenuhan hak korban dapat diwujudkan untuk semua korban kekerasan seksual termasuk yang diatur dalam KUHP," imbuh Genoveva.
Maka dari itu, Genoveva menegaskan kepada negara dalam hal ini DPR dan pemerintah harus tetap dibahas dan jadi RUU prioritas 2020. Jika negara menyerah karena kesulitan itu, maka korban akan menjadi korban untuk kesekian kalinya.
Komisi VIII Tarik RUU PKS
Sebelumnya, Dalam Rapat Evaluasi Prolegnas Prioritas 2020, Komisi VII DPR memilih untuk menarik Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dari daftar Prolegnas Prioritas Tahun 2020.
Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Achmad Baidowi membenarkan, penarikan RUU PKS merupakan permintaan dari Komisi VIII berdasarkan hasil rapat bersama Baleg.
"Ya itu hak Komisi VIII. Nah, pimpinan Komisi VIII menyatakan menarik RUU PKS dari daftar prolegnas prioritas," ujar Baidowi saat dihubungi merdeka.com, Selasa (30/6).
Dia menjelaskan, penarikan itu berdasarkan hasil rapat koordinasi Baleg bersama dengan Pimpinan Komisi terkait evaluasi prioritas.
"Hasil koordinasi tersebut akan dibawa ke Rapat Kerja Baleg bersama Pemerintah dan DPD terkait dengan evaluasi Prolegnas Prioritas 2020," katanya.
(mdk/rhm)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Menurut Yusril, tafsir atas pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak dapat dibatasi hanya pada PKPU saja.
Baca SelengkapnyaKomisi VIII DPR beraudiensi dengan Kementerian PPPA kemarin.
Baca SelengkapnyaKorban dugaan pelecehan seorang perempuan yang bertugas sebagai Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN).
Baca Selengkapnyavideo untuk kamu.
Setelah menahan ketakutan bertahun-tahun, korban akhirnya memberanikan diri melapor ke polisi.
Baca SelengkapnyaBawaslu meyakini terdapat aturan mengenai pengganti caleg tersebut bila ditetapkan terpilih sebagai anggota DPR RI.
Baca SelengkapnyaPutusannya telah Inkracht atau berkekuatan hukum tetap pada 5 Oktober 2023
Baca SelengkapnyaAkulaku diminta meningkatkan tata kelola perusahaan yang baik dan pelaksanaan manajemen risiko dalam menjalankan kegiatan usaha BNPL.
Baca SelengkapnyaAliansi Masyarakat Adat Nasional menggugat DPR dan pemerintah ke PTUN karena dianggap abai
Baca SelengkapnyaRatu Wulla membantah jika nantinya dia ditugaskan untuk maju sebagai Calon Bupati Kabupaten Sumba Barat Daya (SBD).
Baca Selengkapnya