Profesor UI: PNBP telekomunikasi tak miliki dasar hukum
Merdeka.com - Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), terutama di sektor telekomunikasi dinilai tak miliki dasar hukum, karena hanya diatur dalam lampiran peraturan pemerintah (PP).
Aturan pengaturan pajak dan pungutan lain termaktub dalam UUD 1945 pasal 23A yang menyebutkan, "Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang".
Untuk hal ini, PNPB termasuk sebagai salah satu pungutan memaksa tersebut dan tarifnya seharusnya tidak boleh diatur dalam PP melainkan dari UU.
Pasal 23A tersebut dijadikan landasan utama atas gugatan judicial review UU 20/1997 tentang Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan UU 36/1999 tentang telekomunikasi.
"Gugatan paling ekstrem yang mungkin diminta dari hasil pengujian UU itu adalah penghapusan PNBP Telekomunikasi karena dasarnya tidak sesuai dengan UUD 1945. Dasarnya seharusnya UU. Saya juga heran kenapa hal ini tidak ada yang meributkan, sampai akhirnya APJII pun mempermasalahkan hal ini," papar Profesor Haula rosdiana, Guru Besar Ilmu Perpajakan UI, dalam diskusi terbatas, belum lama ini.
Meski begitu, Haula mengungkapkan bahwa yang lebih penting dari gugatan itu bukanlah soal penghapusan PNBP di industri telekomunikasi melainkan pengaturannya yang seharusnya akan menjadi lebih baik.
"Yang paling penting kan landasannya seharusnya bisa jadi lebih jelas bukan masalah penghapusannya. Harapannya hanya pengaturan dan pengelolaan dana yang dihimpun dari PNBP bisa lebih baik di masa depan," tegasnya.
Dari diskusi juga terungkap bahwa PNBP telekomunikasi tidak secara langsung dapat dinikmati industri telekomunikasi, bahkan ada seorang peserta diskusi dari kalangan ISP yang menyebutkan pengucuran PNBP justru untuk menambah tunjangan kesejahteraan pegawai Postel.
Sekjen Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) Sapto Anggoro mengungkapkan setiap tahun pihaknya selalu menyetorkan pungutan PNBP yang besarmya 1,25 persen untuk USO dan 0,5 persen untuk BHP Jastel.
Menurut Sapto, PNBP Telekomunikasi yang diambil dari 1,75 persen pendapatan kotor dianggap lebih memberatkan daripada pajak.
"PNBP itu dipungut dari pendapatan kotor perusahaan, ini lebih tentu lebih kejam daripada pajak wajib yang hitungannya diambil dari pendapatan bersih perusahaan," papar Sapto.
Rencananya, Mahkamah Konstitusi akan menggelar sidang pleno untuk membahas gugatan APJII soal PNBP telekomunikasi ini pada Kamis, 03 April 2013.
(mdk/das)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Budi mengaku telah melakukan komunikasi bersama Dirjen Pajak Suryo Utomo terkait rencana pemerintah untuk menaikkan menaikkan PPN menjadi 12 persen pada 2025.
Baca SelengkapnyaJenderal Agus mengungkap penggantian nomenklatur itu mengikuti penyebutan dari OPM sendiri.
Baca SelengkapnyaAdapun pelamar yang bisa mengecek kelulusan PPPK Guru ini adalah mereka yang telah melewati berbagai tahapan ujian CASN.
Baca Selengkapnyavideo untuk kamu.
Golkar menilai dalil permohonan Partai NasDem yang menyatakan suaranya berkurang sebanyak 494 suara pada 60 TPS adalah mengada-ada.
Baca SelengkapnyaDengan dibukanya data temuan itu harapannya tidak lagi ada tuduhan-tuduhan.
Baca SelengkapnyaKetiga pakar bidang hukum itu merupakan saksi meringankan Firli saat gugatan praperadilan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan beberapa waktu lalu.
Baca SelengkapnyaPenggantian nama KKB menjadi OPM itu berdasarkan Surat Telegram (ST) Nomor : STR/41/2024.
Baca SelengkapnyaDengan adanya revisi, diharapkan suara rakyat tidak terbuang sia-sia.
Baca SelengkapnyaPenyesuaian gaji pokok bagi anggota TNI tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga Belas Atas PP Nomor 28 tahun 2001.
Baca Selengkapnya