Harga gas tetap tinggi meski ada perpres, ini penjelasan Menko Luhut
Merdeka.com - Menteri Koordinator Kemaritiman, Luhut Binsar Pandjaitan, mengakui pemerintah kesulitan menurunkan harga gas industri meskipun regulasi terhadap hal tersebut sudah dikeluarkan dalam bentuk Perpres (Peraturan Presiden). Saat ini, baru 3 sektor dari target 11 sektor yang menikmati manfaat terbitnya Perpres gas industri tersebut.
Menko Luhut menjelaskan, sulitnya harga gas turun disebabkan harga saat ini masih terikat kontrak lama. "Ini memang sulit, kenapa baru tiga, padahal target sebelas. Dulu ini ada kontrak lama, ini jadi repot," ujar Menko Luhut di Kantor Staf Presiden (KSP), Jakarta, Rabu (18/10).
Menko Luhut mengatakan, pihaknya akan terus melakukan kajian supaya hambatan pemicu tingginya harga gas industri dapat segera diselesaikan. "Nah ini hambatan, ke depan seperti apa saya belum tahu," tandasnya.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution mengakui harga gas industri dalam tiga tahun pemerintahan Jokowi-JK masih tinggi. Sehingga, tidak heran apabila hal tersebut banyak dikeluhkan oleh pelaku usaha di sektor perindustrian.
"Yang banyak dipersoalkan dan belum dapat yaitu sekarang masih terus mengeluh karena ada sejumlah industri yang cukup banyak terpengaruh oleh tingginya harga gas, merasa daya saing mereka terpengaruh," ujar Menko Darmin.
Menko Darmin mengatakan ada berbagai faktor yang menyebabkan harga gas industri masih bervariasi. Di antaranya adalah perbedaan biaya eksploitasi gas di setiap daerah.
"Memang persoalan gas ini semestinya Kementerian ESDM. Tapi dari data yang ada memang gas ini sangat bervariasi harganya, tergantung pada waktu dia dieksploitasi, biayanya seperti apa dia keluarnya," jelasnya.
Menko Darmin menambahkan rentang harga gas terpaut lebar, membuat harga gas sulit untuk dipukul rata di seluruh wilayah. Dia mencontohkan harga gas di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Sei Mangkei, Sumatera Utara yang berbeda dengan wilayah lain.
"Gas ke Sei Mangkei kami sudah bahas panjang lebar akhirnya hanya bisa turun dari USD 13,5 (per MMBTU), jadi hanya USD 10 (per MMBTU), padahal diminta hanya USD 9 (MMBTU). Ya pasti teriak-teriak terus dia," kata Menko Darmin.
Melihat hal tersebut, SKK Migas dan Kementerian ESDM dinilai perlu melakukan evaluasi. Sebab, kedua lembaga tersebut memiliki wewenang untuk mengkaji nilai yang digelontorkan dalam menghasilkan gas.
"Saya kemarin-kemarin tanyakan ke (Menteri ESDM) Jonan solusinya apa Sei Mangkei. Boleh tidak impor? Ya memang agak ironis kita ada gas. Kalau bawa dari Sei Mangkei ceritanya agak beda. Kayaknya salah satu yang kami sarankan adalah itu. Kalau dia di atas yang dikeluarkan produksi yang di dalam ya impor saja," tandasnya.
(mdk/bim)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Pertama, ada faktor dari sisi hulu di mana rencana-rencana produksi mengalami kendala operasional.
Baca SelengkapnyaInsentif harga gas bumi tertentu (HGBT) untuk 7 sektor industri membuat penerimaan negara turut berkurang hingga Rp15,6 triliun.
Baca SelengkapnyaAkibat harga gas bumi murah atau harga gas bumi tertentu (HGBT) kepada tujuh sektor industri tellah berdampak pada berkurangnya penerimaan negara.
Baca Selengkapnyavideo untuk kamu.
PHE hingga Juni 2023 mencatatkan produksi minyak sebesar 570 ribu barel per hari (MBOPD) dan produksi gas 2757 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD).
Baca SelengkapnyaPredisen Jokowi menekankan pentingnya hilirisasi sebagai langkah strategis agar harga jagung ditingkat petani lebih stabil.
Baca SelengkapnyaPGN terbuka dan mendorong bagi semua sektor usaha untuk menggunakan gas bumi agar manfaatnya dapat dirasakan secara nyata bersama.
Baca SelengkapnyaMasyarakat yang belum terdata diimbau agar segera mendaftar sebelum melakukan pembelian LPG tabung 3 kg.
Baca SelengkapnyaSelain itu, kementerian juga telah menyetujui alokasi dan harga gas untuk tiga pembeli gas.
Baca SelengkapnyaPemicu masih mahalnya harga beras disebabkan oleh pola konsumsi beras dan masa tanam hingga panen.
Baca Selengkapnya