Mengenal Lebih Dekat Sosok Sitor Situmorang, Penulis dan Wartawan Indonesia Asal Samosir
Pria berdarah Batak ini sudah malang melintang di dunia sastra maupun jurnalistik yang menjadi inspirasi bagi banyak orang.
Pria berdarah Batak ini sudah malang melintang di dunia sastra maupun jurnalistik yang menjadi inspirasi bagi banyak orang.
Sitor Situmorang, mungkin bagi sebagian besar masyarakat Indonesia cukup asing dengan namanya.
Beliau merupakan seorang sastrawan dan telah menulis sajak, cerita pendek, esai, naskah drama, hingga naskah film.
Ia lahir pada 2 Oktober 1925 di Harianboho, sebuah desa yang berada di kaki Gunung Pusuk Buhit yang dipercaya sebagai tempat kelahiran nenek moyang Suku Batak.
Sitor lahir di kalangan keluarga pemangku adat Batak.
Perjalanan Sitor untuk menjadi seorang sastrawan dan wartawan tidaklah mudah.
Sejak duduk dibangku Sekolah Dasar (SD), Sitor sudah meninggalkan tanah kelahirannya untuk memasuk berbagai lingkungan budaya.
Mari mengenal lebih dekat dengan sosok sastrawan dan wartawan Sitor Situmorang yang dirangkum merdeka.com dari beberapa sumber berikut ini.
Melansir dari situs sitorsitumorang.org, ia menempuh pendidikan jauh dari tanah kelahirannya yakni di Balige, Samosir.
Kemudian, ia pindah ke Sibolga untuk menyelesaikan pendidikan sekolah dasarnya selama dua tahun.
Setelah menempuh pendidikan dengan sistem tujuh tahun, Sitor akhirnya masuk MULO di Tarutung pada tahun 1938.
Pertengahan tahun 1941, ia memutuskan untuk berangkat ke Batavia dan mengenyam pendidikan di Christelijke Middelbare Scholen (CMS).
Sitor sendiri bercita-cita untuk menjadi ahli hukum. Akan tetapi ia harus mengubur dalam-dalam karena kedatangan Jepang ke Indonesia. Ia malah terlibat dalam perjuangan politik Sumatera Utara sebagai redaktur berkala Suara Nasional.
Ketika menjadi redaktur di Suara Nasional, usia Sitor masih 19 tahun. Padahal, dirinya belum memiliki keahlian maupun pengalaman yang mumpuni di bidang jurnalistik.
Mengutip dari badanbahasa.kemdikbud.go.id, Sitor pun juga sempat bergabung dengan kantor berita nasional Antara di Pematang Siantar. Pada tahun 1947, Sitor di tunjuk oleh Menteri Penerangan, Muhammad Natsir untuk menjadi koresponden Waspada di Yogyakarta.
Pengalaman besar yang ia miliki selama berkecimpung dunia jurnalistik yaitu mendapat kesempatan untuk mewawancarai Sultan Hamid seorang tokoh negara federan bentukan Belanda yang menjabat sebagai ajudan Ratu Belanda.
Pertanyaan yang dilontarkan oleh Sitor kepada Sultan Hamid begitu menarik. Isi wawancara itu menjadi sorotan dan banyak kantor berita asing yang mengutipnya.
Sitor tak hanya mendalami dunia jurnalistik saja, melainkan juga berkarya di bidang sastra. Ia berhasil menciptakan sajak, drama, cerita pendek, cerita film yang menjadi pencerahan dan pembaruan dalam seni budaya.
Beberapa karya orisinil Sitor Situmorang yang sudah terbit, seperti Surat Kertas Hijau, Dalam Sajak, Wajah Tak Bernama, cerpen Pertempuran dan Salju di Paris yang berhasil meraih juara pertama di ajang Sastra Nasional tahun 1955.
Selain menulis, Sitor juga cukup ahli di bidang penerjemah. Beberapa buku yang berhasil ia garap yaitu karya Jhon Wyndham he Day of Triffids menjadi Triffid Mengancam Dunia (1953), drama karya John Galworthy, William Saroyan, Maenocol, Dorothy Sayers, JA Rimbaud, Rabindranath Tagore, Hoornik, Sen Chi Shi.
Dalam dunia perfilman Indonesia, Sitor Situmorang menjadi salah satu tokoh pelopornya.
Ia berhasil membuat film berjudul Darah dan Doa pada tahun 1950. Ia juga dikenal sebagai kritikus film yang "tajam" dan mengajar di Akademi Teater Nasional (ATNI).
Kemudian Sitor juga pernah menjadi juri di festival-festival film dan diundang ke beberapa kerja sama pembuatan film antar negara. Salah satunya ia bekerja sama dengan negara Jepang untuk membuat film tentang masa kependudukan Jepang.
Tahun 1956, Sitor mendapat beasiswaa untuk belajar sinematografi dan seni panggung di Los Angeles, Amerika Serikat.
Lahir di Tarutung, Tapanuli, Sumatra Utara pada 26 Agustus 1914, Albert sudah menekuni dunia jurnalistik sejak usianya menginjak remaja.
Baca SelengkapnyaPerempuan inspiratif asal Palembang ini menciptakan Kitas Simbur Cahaya yang berisi undang-undang tertulis berlandaskan kearifan lokal pertama di Nusantara.
Baca SelengkapnyaSobirin yang masih awam dan belum tahu betul karakter puyuh kembali menelan kegagalan karena 1.000 ekor puyuh yang baru dibelinya mati.
Baca SelengkapnyaDua sosok Jenderal TNI bintang lima ini ternyata pernah jadi atasan dan bawahan. Simak karier keduanya hingga mampu meraih penghargaan tertinggi militer.
Baca SelengkapnyaNamanya semakin terkenal ketika ia membuat novel berjudul Asmara Jaya dan Darah Muda.
Baca SelengkapnyaSetiap orang punya cara tersendiri untuk berjuang melanjutkan hidup.
Baca SelengkapnyaPutri Ki Joko Bodo bercerita tentang sisi lain mendiang ayahnya. Ia mengenalnya sebagai sosok yang hangat dan humoris di rumah.
Baca SelengkapnyaIa merupakan salah satu tokoh militer Indonesia yang dipercaya jadi komisaris televisi nasional hingga perusahaan perabot rumah tangga.
Baca SelengkapnyaKehidupan artis selalu menjadi sorotan publik, tidak luput juga kehidupan pribadi termasuk perkembangan anak mereka.
Baca Selengkapnya